Pengaruh Orientalisme Terhadap Liberalisasi Pemikiran
Pengaruh Orientalisme Terhadap Liberalisasi Pemikiran
Dosen Pembimbing:
Al Ustadz Hasbi Arrijal,
S.Fil.I
Oleh:
Robby Fernando
NIM : 352014210152
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS DARUSSALAM
KAMPUS SIMAN
2016
TUGAS
MATA KULIAH ISLAM DAN ISU – ISU KONTEMPORER
Pendahuluan
Seperti
yang telah tercatat dalam sejarah peradaban barat bahwasaannya liberlisme
pemikiran ini berawal dari
induk peradaban barat yang tidak lain adalah peradaban Yunani.Namun, jika dikaitkan hingga Abad Pertengahan, liberalisme dipicu oleh kondisi sistem
ekonomi dan politik yang didominasi oleh sistem feodal.dimana kekuasaan raja yang semena – mena
dengan rakyat,dan kepemilikan hak yang istimewa lebih dari rakyat yang membuat
rakyat tidak leluasa melakukan sesuatu. Liberalisme abad pertengahan diperkirakan dimulai sekitar
tahun 1215 dimana raja John Inggris mengeluakaran dokument magna carta yang
menyebabkan pembatasan kekuasaan raja terhadap masyarakat.[1]
Kemudian liberalisme berlanjut di negara – negara
eropa yang ditandai dengan banyaknya
kekuasan raja Inggris yang tumbang (raja James II & Marry II).di Prancis
sendiri liberalisme ditandai dengan munculnya revolisi Prancis yang akibat dari
ajaran filsuf terkenal prancis Montesquieu yang mengajarkan pemisahan negara
dengan kekuasaan eksekutif ,yudikatif,dan legistatif.yang mengurangi kekuasaan
politik yang absolute. Adapun Voltaire menyerang pemerintah yang terlalu campur tangan dalam kebebasan individu.sedangkan di Amerika
dampak dari liberalisasi ini menyebabkan amerika merdeka dari inggris pada the
revolutionary war (1775-1783). Dan dampak yang paling nampak dari
liberalisme politik ini ialah banyak terjadi perubahan sistem kenegaraan di negara
– negara eropa dari sitem kerajaan menjadi sistem demokrasi , dan menyebabkan
banyak raja bertumbangan pada tahun 1830.
Menjelang awal abad ke 20 setelah banyak negara yang
menganut demokrasi , dan wanita dapat menyapaikan aspirasi suararnya dalam berpolitik
. liberalisme berkembang lebih luas lagi tidak hanya dalam politik dan ekonomi,
namun berkembang dalam ranah lainnya seperti intelektual. Contohnya di Amerika
yang ketika itu dipimpin oleh , Presiden Franklin D.
Roosevelt men-
deklarasikan
empat kebebasan, yakni kebebasan untuk berbicara
dan menyatakan pendapat (freedom of
speech), kebebasan beragama
(freedom of religion), kebebasan dari kemelaratan (freedom from
want), dan kebebasan dari ketakutan (freedom from fear). Adapun contoh Li b e r a lisme dalam konteks
kebebasan intelektual yang berarti berpikiran
bebas,berpengetahuan luas, terus terang, dan
terbuka. Di masa itu dunia Barat berupaya untuk
membebaskan bidang intelektual, sosial,keagamaan, politik
dan
ekonomi dari tatanan negara yang mengengkang atau membatasi kekuasaan individu dan bahkan dari Tuhan.
Yang dampaknya
adalah penghapusan hak-hak Tuhan dan segala otoritas yang diperoleh dari
Tuhan; mengesampingkan agama dari
kehidupan publik menjadi bersifat individual. Selain itu agama Kristen dan Gereja harus dihindarkan agar tidak menjadi lembaga
hukum yang
memerintah seperti negara maupun lembaga sosial lainnya. Yang kemudian Kebebasan intelektual berkembang bersamaan dengan
perkembangan liberalisme sosial dan politik yang terjadi di Barat pada akhir abad ke 18. Oleh karenanya magna
carta dari revolusi Prancis tahun 1789 dianggap sebagai simbol
liberalisme.yang dimana Di dalamnya terdapat
kebebasan
mutlak dalam pemikiran, agama, etika, kepecayaan, berbicara, pers dan politik.
Kaitan orientalisme dan
liberalisme
Orientalisme merupakan istilah
yang merujuk kepada peniruan dan penggambaran unsur budaya timur di barat.
Tetapi seiring perkembangan zaman, dan semakin berkembangnya makna bahasa,
orientalisme tidak hanya diterapkan untuk memahimi budaya bangsa, khususnya
bangsa timur, namun lebih cenderung lagi mulai digunakan untuk memahami sebuah
agama, karena kebudayaan suatu bangsa tidak hanya tentang seni dan arsitektur,
namun juga berkaitan tentang agama dan wawasan intelektual. Untuk itu
orientalisme yang digunakan untuk melihat agama islam ini memiliki beberapa
kecenderungan yang nampak dalam mengkaji islam.[2]
Pertama orientalisme menganlogikan agama islam dengan kristen, stigma yang
berkembang adalah Muhammad seperti kristus, negara islam adalah teokrasi, dan
ulama’ adalah pendeta. Dari logika seperti ini maka lahirlah gambaran kristen tentang islam. Dan berbagai
pendekatan lainnya yang digunakan dalam memahami agama kristen digunakan untuk
memahami agama islam.
Kedua, orientalisme bersifat
politis, karena itu melahirkan “pengetahuan politik” yaitu menjadikan objek
kajiannya diposisikan sebagai lawan. Yang sedang dikaji dan diteliti berbagai
aspek kelebihan dan kekurangannya, untuk kepentingan imperialisme dan
missionarisme. Karena itu kajian – kajian orientalisme dimanfaatkan gereja demi
tujuan penyebaran agama dan dimanfaatkan penguasa demi kepentingan
imperialisme. Seperti yang sudah tercatat dalam sejarah barat bagaimana
orientalisme memunculkan imperialisme dan missionarisme. Maka tidaklah heran
jika muncul kajian orientalisme dinegara bekas jajahan barat. Ketiga, produk
orientalisme cnderung tidak objektif dalam meneliti. Orientalisme berpijak pada
pragmatisme[3], dimana
standar kebenaran terletak pada keuntungan subejek keada objek yaitu barat
terhadap islam.
Dari sini kita mengetahui
bagaimana keterkaitannya orientalisme dalam imperialisme dan missionarisme yang
nanti akan berdampak pada perkembangan liberalisme pemikiran. Yang mana munculnya
metode berfikir yang salah yang ditawarkan barat pada islam merupakan upaya
deskontruksi kebudayaan yang bersifat halus dan tidak nampak. Contoh halnya
bagaimana imperialisme berdampak pada orientalisme adalah bagaimana pemegang
imperialisme atau pemilik kendali terhadap negara tertentu bisa memegang
kendalinya terhadap negara tersebut dan apa yang simpang siur berjalan
diatasnya. Seperti munculnya istilah ISIS(islamic state of iraq and syiria)
dalam negara timur tengah khususnya iraq yang dibawah kendali amerika. Hal ini
berawal pada kedudukan amerika terhadap negara tersebut sehingga memunculkan
istilah yang salah yang dijadikan kambing hitam untuk kepentingan tertentu.
Peran Orientalisme Dalam Mengkaji
Al Qur’an
Peran orientalis dalam
meliberalkan pemikiran tidak hanya sampai disitu, mereka juga mengaplikasikan
metode pengkajian bibel dalam studi Al Qur’an. Kaum agamawan dan teolog yahudi-kristen telah
serius mengkajii bibel secara kritis.ketika mereka mengajinya, mereka meyakini
apa yang dipegangnya (textus receptus)[4]
mengandung kesalahan besar, jadi mengkaji bibel menurut mereka secara kritis
dapat melahirkan metode kritis yang pada era
selanjutnya melahrikan biblical critism.[5]
Dan dalam perkembangan selanjutnya para orientalis mengunakan biblical
critism sebagai framework dalam studi Al Qur’an, seperti menjadikan patokan
dalam mengkaji Al Qur’an seakan mengkaji bibel. seperti mengggunakan
hermeneutika dalam penafsiran Al Qur’an yang mana merupakan metode yang tidak
tepat dalam mengkaji Al Qur’an. Para ilmuan dan pemikir barat yang telah
memasukan dan menerapkan metode ini dalam kajian –kajiannya terhadap AlQur’an
sejak abad ke-19 M diantarannya adalah (Abraham Geiger 1810-1874 M), (Gustav
Weil 1808-1889 M), (William Muir 1819-1905), (Arthur Jeffery 1893-1959 M)
dan mereka lainnya.
Metode pengkajian seperti inilah
yang menyebabkan kerancauan dalam berfikir,menggunakan metode yang tidak tepat
dalam mengkaji Al Qur’an dengan menggunakan biblical critism, dan pnerapan
hermeneutika dalam studi Al Qur’an dan akhirnya menimbulkan pemahaman yang
salah terhadap objek yang akan dikaji, seperti yang dialami oleh tokoh – tokoh JIL(jaringan
islam liberal) mereka menukil pendapat dari ilmuan barat tanpa ada jaminan
keobjektivitassan kebenarannya, yang menyebabkan statment yang salah berkembang
dan menjamur di Indonesia. salah satu tokoh pemikir barat yang menerapkan
metode ini adalah Gustav Weil 1884M dia menulis Mukadimah Al Qur’an : Kritik
Sejarah. Menurutnya Al Qur’an harus dikaji sesuai turunnya sehingga dia
mengajukan tiga standar untuk membentuk kronologi turunnya Al Qur’an. Pertama,
kembali kepada kejadian- kejadian sejarah yang diambil dari sumber – sumber
lain. Kedua, meneliti karakter wahyu itu dan menganggapnya sebagai langkah
perkembangan peristiwa yang terjadi dan peran Mhuahhamd SAW didalamnya. Ketiga,
fenomena-fenomena external wahyu.[6]
Peran Orientalisme Di Perguruan Tinggi
Gerakan para orientalis lebih dari mempelajari
budaya timur, namun juga mengkoleksi dan menterjemahkan teks-teks dalam
khazanah intelektual Islam dari bahasa Arab ke bahasa Latin sejak Abad
Pertengahan di Eropa. Kegiatan ini umumya dipelopori oleh para teolog Kristen.
Dari hasil koleksi itu Museum London dan Mingana Collection di Inggeris adalah
diantara pemilik koleksi manuskrip Islam terbesar di dunia. Setelah berkembang
pesat, kajian orientlaisme menjadi tren kajian di perguruan tinggi dibarat. maka
ia berkembang dan melembaga menjadi program formal di perguruan tinggi, khususnya
di Indonesia. Dan berbagai bentuk kelembagaan formal lainnya di dalam departemen atau jurusan dari
universitas-universitas di Barat. Kini banyak sekali unversitas di Barat yang
mendirikan program Islamic, Middle Eastern, atau Religious Studies. Universitas
London misalnya mendirikan SOAS (School of Oriental African Studies),
Universitas McGill Canada, Univesitas Leiden Belanda mendirikan Departement of
Islamic Studies ahkan di UIN Jakarta, misalnya, Mc Gill University Canada
membuka Department of Islamic Studies, di Gajah Mada Temple University Amerika
membuka Department of Religious Studies.
Program-program kajian keislaman di universitas-universitas Barat
tersebut merupakan tradisi yang kokoh karena didukung oleh pakar dan tokoh
dibidang masing-masing.
Dari sini kita mengetahui bagaimana upaya
gerakan yang dilancarkan oleh orientalisme kepada ramah perguruan tinggi dan
lembaga formal lainnya. Yang mana hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman yang
kemudian dikutip dan disalin ulang oleh cendikiawan atau pelajar diperguruan
tinggi, dan menambah beban tantangan liberalisasi pemikiran terhadap islam.
Sebagai contoh bisa dilihat bagaimana Para orientalis dari generasi ke generasi
menyatakan bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad yang tentunya ini adalah
hal yang salah. Hal ini dapat dibaca dari pernyataan G.Sale, [dalam bukunya The
Qur’an:Commonly called al-Qur’an:Preliminary Discoursei, (1734)], Sir William
Muir [dalam bukunya Life of Mahomet (1860)], A.N. Wollaston [dalam bukunya The
Religion of The Koran (1905)], H. Lammens, dalam [Islam Belief and Institution (1926)],
Champion & Short [dalam buknya Reading from World Religious Fawcett,
(1959),] JB. Glubb, [dalam bukunya The Life and Time of Muhammad (1970)] dan M.
Rodinson [dalam bukunya Islam and Capitalism (1977)]. Yang kemudian ide ini diterjemahkan oleh
Muhammad Arkoun menjadi begini: al-Qur’an adalah wahyu Tuhan tapi ia diucapkan
oleh Muhammad dan dengan bahasa Muhammad sebagai manusia biasa. Seiringan dengan
itu seorang cendekiawan Muslim liberal yang diusir dari Mesir bernama Nasr
Hamid Abu Zayd menyatakan bahawa karena al-Qur’an turun dalam ruang sejarah
Arab maka ia adalah produk budaya Arab (muntaj
thaqafi).
Dari
keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal
hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu:
1.
Bahwa
orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat
ketimbang tentang manusia Timur (orient).
2.
Bahwa
orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab
dan Islam.
3.
Bahwa
meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan),
namun ia berfungsi untuk tujuan politik.(Keith Windschuttle “Edward Said’s
Orientalism revisited”, The New Criterion Vol. 17, No. 5, January 1999, hal. 5)
Kesimpulan
Nampaknya orientalisme sebagai
perannya dalam mempelajari kebudayaan timur khususnya dalam hal
intelektual-agama jauh dari kata objektif, peran mereka sebagai orientalisme
diiringi dengan semangat imperialisme dan missionaris yang tinggi. Dan mereka
mengabaikan metode belajar islam dalam mempelajari agama islam dan lebih
memilih metodelogi mereka sendiri yang tidak tepat digunakan untuk belajar
islam. Dan yang paling mirinya adalah momentum tersebut digunakan mereka untuk mencari
– cari kesalahan islam dalam upaya memuluskan mereka menguasai peradaban. Dan
yang lebih diwaspadai adalah tipu muslihatnya dalam upaya merobohkan agama
islam dari dengan berbagai cara.
Daftar Pustaka
Tamam, Abbas Mansur, Pengaruh
Orientalis Terhadap Liberalisasi Pemikiran Islam, jurnal KALIMAH, vol.14.no.1,
maret 2016.
Salim,M.A, Fahmi, Kritik Terhadap
Studi Al Qur’an Kaum Liberal, Kelompok Gema Insani/jakarta, April 2010.
Zarkasyi, Hamid Fahmy,
Liberalisasi Pemikiran Islam, jurnal TSAQOFAH, vol 5. No.1 . jumadal ula 1430.
[1] . Liberalisasi Pemikiran
Islam,Hamid Fahmi Zarkasyi, jurnal TSAQOFAH vol.5 no.1, jumadal ula 1430.
[2] .Edward Said, al-Istisyrak
al-Mafahim al-Ghaibiyyah li al-Syarq, dalam jurnal KALIMAH Pengaruh
Orientalisme Terhadap liberalisasi pemikiran islam, Abbas Mansur Tammam.
[3] . Pragmatisme mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang
membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau
hasilnya yang bermanfaat secara praktis.
[4] . Adalah naskah yang diterima dan dikenakan pada Alkitab Perjanjian Baru
dalam bahasa Yunani. Bahasa Latin. Yunani ini diterbitkan pada tahun 1550.
Karya yang paling umum adalah karya Erasmus dari Rotterdam. Textus receptus ini
adalah naskah yang sangat umum dipakai sampai abad ke-19. Akan tetapi, banyak
penemuan-penemuan baru dan perkembangan dalam bidang kritik teks. W.R.F. Browning. 2007. Kamus Alkitab. Jakarta.
Gunung Mulia. 371.
[5] . is the scholarly "study and investigation of
biblical writings that seeks to make discerning judgments about these
writings". Viewing biblical texts as being ordinary pieces of literature,
rather than set apart from other literature, as in the traditional view, it
asks when and where a particular text originated; how, why, by whom, for whom,
and in what circumstances it was produced; what influences were at work in its
production; what sources were used in its composition; and what message it was intended
to convey. It will vary slightly depending on whether the focus is on the
Hebrew Bible, the Old Testament, the letters of New Testament or the canonical
gospels. It also plays an important role in the quest for a historical
Jesus.Harper's Bible Dictionary, 1985.
Komentar
Posting Komentar